Kamis, 28 Oktober 2010

Makna Perjalanan Haji


Musim haji sudah dekat, dan bahkan calon haji Indonesia sudah banyak yang berangkat ke tanah suci. Sekali lagi Calon Haji memantapkan niatnya. Mantap dengan artian bersih dalam niat, perangkat dan perilaku jiwanya. Periksa kembali kehalalan uang yang digunakan untuk membiayai keberangkatannya. Pastikan pula jiwa mana yang Anda bawa. Jiwa yang hendak bertekuk lutut dan mengakui kehinaan di hadapan Alloh SWT, ataukah jiwa yang hendak ‘memperalat’ Alloh SWT demi status baru? Ataukah sekadar memperpanjang gelar yang disandang?

Ibadah haji adalah ritual yang sarat dengan simbolisasi penuh makna. Dari diawali dengan niat di Miqat, tawaf mengelilingi ka’bah, sa’i di antara bukit Shafa dan Marwa, sampai dengan lempar jumroh. Hakikat dari ritual-ritual itulah yang coba diuraikan secara khas dan sangat thought-provoke oleh seorang cendekiawan Iran, (almarhum) Dr. Ali Syariati dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Makna Haji.



Ketika beribadah haji, kita menjawab panggilan Allah SWT. Untuk apa Allah memanggil kita? Pertama, menurut Ali Syariati, adalah untuk mengingatkan kembali akan hakikat kita sebagai manusia. Melalui tawaf, Allah mendemonstrasikan kepada kita cara kerja alam semesta. Bagaimana bumi, dan planet-planet di jagat raya ini berotasi dan mengelilingi orbitnya. Itu adalah sunnah-Nya. Semuanya harus mengikuti agar selamat sampai kepada-Nya. Bagai setetes air yang dijatuhkan ke dalam aliran sungai, ia pun akan menyatu mengikuti arusnya dan menjadi semakin besar hingga akhirnya bertemu dengan samudera. Tidak seperti setetes embun di atas sehelai daun yang akan segera hilang saat diterpa sinar mentari. Demikian juga manusia, jangan hanya memandang dari pinggiran sungai, leburkanlah dirimu dalam kafilah yang akan membawamu kepada-Nya.

Kedua, untuk mengingatkan kita agar waspada akan godaan iblis yang tidak akan pernah berhenti. Wajah iblis yang dari jaman ke jaman selalu berubah-ubah agar kita tak menyadarinya. Satu wajah yang menjelma menjadi tiga wajah alias tiga entitas alias trinitas, yakni Fir’aun (politik atau kekuasaan), Karun (harta dan ketamakan), serta Balam/Haman (intelektualitas).

Melalui kisah Nabi Adam as (alaihis salam), kita diingatkan bagaimana ketika ia lalai oleh bujuk rayu iblis, dan akhirnya harus turun dari surga serta terpisah dengan Hawa. Ia hidup sendiri dan terus bertobat hingga atas izin Allah ia pun dipertemukan kembali dengan Hawa.

Juga melalui kisah keteladanan Nabi Ibrahim as. Ia hidup di rumah seorang pembuat berhala bernama Azar, di bawah kekuasaan raja Namrud yang lalim, serta beristrikan seorang perempuan aristokrat fanatik dan mandul Sarah. Ia lalu harus menikahi seorang budak berkulit hitam bernama Hajar (sehingga tidak akan membuat cemburu Sarah) dan memiliki seorang anak, Ismail. Allah menguji keimanannya dengan menyuruh mengorbankan putra satu-satunya itu. Dan begitulah, lagi-lagi setan terus menggodanya agar ia melarikan diri dari tugas tersebut. Dan melalui perjuangan yang sungguh berat, ia pun lulus dari ujian tersebut.

Intinya, penulis buku ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagai manusia. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang “tampil beda” (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya. Dan ini adalah kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya kita hanyalah wisatawan yang berlibur ke tanah suci di musim haji. Tidak lebih!!
Jika ada yang ingin mendownload perjalanan haji silakan klik disini
atau copy dan paste link berikut http://www.ziddu.com/download/11281168/PerjalananHaji.ppt.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar